Catatan Lama Sukriansyah S Latief: Antara Kampanye, Sakit Jantung dan Media Sakit

By Admin

Foto/Sukriansyah S Latief      

Oleh Sukriansyah S Latief*      

‘’Our long national nightmare is over. Our Constitution works; our great Republic is a Government of laws and not of men.’’ Begitu antara lain sedikit petikan pidato Gerald Ford ketika disumpah menjadi Presiden Amerika Serikat menggantikan Nixon pada 9 Agustus 1974. Sejarah Amerika telah mencatat bagaimana seorang presiden yang telah dilantik, harus meninggalkan Gedung Putih menuju helikopter untuk menerbangkannya sebagai rakyat biasa. Nixon terbukti melakukan kegiatan kotor dan mengakui perbuatan timnya, serta meminta maaf kepada rakyat Amerika. Setidaknya, ketika itu --karena masih ingin melanggengkan kekuasaannya sebagai Presiden Amerika, timnya melakukan penyadapan di markas Partai Demokrat. Dan dunia pun gempar setelah mengetahui skandal yang kemudian dikenal sebagai ‘Watergate’. Sama terkenalnya ketika dibuat menjadi sebuah film dengan judul: ‘’All The President’s Men.’’   

Begitulah dahsyatnya dunia --juga sejatinya kita, memperlakukan calon pemimpin yang mestinya tidak hanya sekadar mengejar hasil, tapi juga memperhatikan prosedur dan proses secara jujur dan bermoral. Jangankan jabatan gubernur atau walikota/bupati, kursi presiden pun mesti rela ditinggalkan bila proses panjang untuk mencapainya dilakukan dengan cara-cara kotor. Tapi itulah politik, apalagi dalam urusan pemilihan presiden, anggota dewan, gubernur ataupun bupati/walikota. Hampir tak ada satu pun yang terbebas dari kegiatan-kegiatan kotor --baik yang dilakukan langsung oleh calon maupun pendukungnya, salah satunya adalah kampanye kotor. Celakanya, karena domain kampanye kotor ini lebih besar ke politik, maka biasanya masalah hukumnya kurang diperhatikan. Akibatnya, begitu banyak kasus-kasus kampanye kotor yang terindikasi melanggar pasal-pasal pidana, tapi hanya sedikit yang sampai ke pengadilan.

Dalam pemilihan presiden yang lalu misalnya, berbagai kampanye kotor telah dilakukan untuk merusak image calon presiden tertentu. Capres Wiranto terpaksa melakukan klarifikasi VCD dengan sampul Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang ternyata hanya bagian depannya saja berisi rekaman lagu para calon penyanyi, sedang isi selebihnya kampanye kotor terhadap Wiranto. Begitu juga dengan Jusuf Kalla (JK) – yang melakukan klarifikasi di kantor Partai Bulan Bintang berkaitan dengan munculnya isu penolakan Syariat Islam oleh pihak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasangan SBY-JK juga ketika itu dituding didukung Amerika, menggunakan dana dari cukong judi, atau SBY dikelilingi kelompok Kristen. Tapi itulah kampanye kotor atau yang biasa disebut black campaign. Sebuah model kampanye yang menyajikan isu, gosip, rumor dan semacamnya, tak ada fakta atau bukti yang mendukungnya.

Hal ini berbeda dengan negative campaign (kampanye negative), sebuah model kampanye yang menunjukkan kekurangan dari lawan politik (ada bukti atau terbukti). Dari sisi media, kampanye negatif ini dapat dibenarkan sepanjang tujuannya adalah untuk kepentingan publik, bukan atas pesanan-pesanan pemain politik. Media ingin memperlihatkan atau menunjukkan, siapa calon pemimpin yang akan mengantar mereka menuju pintu kesejahteraan atau hidup yang lebih baik. Misalnya, seorang calon yang pengusaha, bisa dianggap tidak mampu membawa rakyat menjadi sejahtera dan damai, karena di perusahaannya sendiri dia didemo akibat rendahnya upah buruh, bahkan dia sementara digugat oleh karyawannya. Dalam hal ini, sepak terjang dan track record calon, justru menjadi bagian yang mesti ditampilkan oleh media.

Lantas bagaimana dengan kasus yang menimpa calon gubernur yang diusung Partai Golkar, Amin Syam, yang dituding menderita sakit jantung dalam selebaran dan stiker yang beredar luas? Memang tak mudah secara langsung kita bisa mengkategorikan itu adalah kampanye kotor atau kampanye negatif, karena kita mesti mengurai prosedur dan prosesnya. Bisa saja ini dianggap sebagai kampanye kotor, apabila memang Amin Syam tidak pernah atau sedang menderita sakit jantung, yang cukup dibuktikan oleh keterangan dokter. Hanya saja, karena persoalan kesehatan ini berada pada ranah politik, yakni pencalonannya sebagai gubernur, maka yang mesti memberikan klarifikasi soal sehat atau tidak adalah dokter dari institusi resmi yang diakui oleh pelaksana pemilihan gubernur. Jadi, untuk menentukan apakah ini kampanye kotor atau bukan, maka kita mesti menunggu hasil pemeriksaan tim dokter yang disetujui oleh KPU Sulsel. Bila kelak hasilnya ternyata negatif, maka itulah sebuah kampanye kotor, yang bisa dilakukan oleh lawan politik atau saingan calon, tapi bisa juga dilakukan oleh kawan sendiri, sebagai sebuah strategi kontra.

Tapi, bila kita melihat dari proses dan bentuk penyampaian informasi berupa selebaran dan stiker, maka ini dapat dirasakan sebagai sebuah kampanye kotor. Salah satu dari ‘kekotoran’ itu, cirinya adalah tidak jelasnya siapa yang menghembuskan tuduhan tersebut. Dan yang lebih prinsipil adalah tidak adanya bukti kuat yang mendukung tuduhan itu, selain hanya memuat guntingan koran. Karena kedua hal yang tak jelas inilah, maka peran pihak kepolisian sangat diperlukan untuk mencari tahu pelaku dan motif dari tuduhan tersebut. Dari pihak kepolisianlah, kemudian nanti terungkap di pengadilan, apakah telah terjadi kampanye kotor, atau mungkin sebaliknya, justru terjadi strategi kontraproduktif. Dan sayangnya, dari banyak kasus yang terjadi, baik di tingkat nasional, juga di daerah ini, yang terungkap sangatlah sedikit. Kebanyakan kasus itu menguap, seiring berakhirnya ‘pesta’ dari para pemain politik.

Lantas di manakah media berada ketika pihak kepolisian kurang mampu memperlihatkan hasil kerjanya? Ternyata, setali tiga uang. Media kini seperti kehilangan ‘roh’ dan semangatnya untuk melakukan fact finding dan investigative reporting, seperti dalam film yang saya sebutkan di atas. Bagaimana dua wartawan The Washington Post: Carl Bernstein dan Bob Woodward mendapatkan informasi dari seseorang yang tidak dikenal, namun kedua jurnalis ini kemudian melakukan investigasi untuk mendukung informasi dasar dari si ‘The Deep Throat’.

Foto: Sukriansyah S Latief    

Hal ini berbanding terbalik dengan jurnalis dan media di sini, yang hanya ingin mendapatkan mudahnya saja, misalnya mengambil keterangan resmi dari pihak-pihak yang berkompeten, tanpa mau berjuang mengungkapkan dan membongkar dokumen, untuk memperlihatkan kepada publik tentang peristiwa di balik peristiwa. Peristiwa penyebaran stiker dan selebaran tentang penyakit jantung Amin Syam, dan beberapa kasus sebelumnya, termasuk benar-tidaknya Presiden SBY telah menikah sebelum masuk di dinas ketenteraan, atau semua yang bersifat kampanye kotor, mestinya bisa diungkap oleh media, bila kepolisian yang tak mampu atau lambat melakukannya.

Tapi yang terjadi justru peristiwa itu menjadi komoditi bisnis bagi media. Dan kita pun menikmatinya. Semakin banyak kemungkinan dan anasir-anasir, semakin banyak tanda tanya, dan semakin ramai dibicarakan, maka semakin besar pula keuntungan bisnis yang bisa diraih. Media sudah luka parah. Maka kemanakah kita berharap kebenaran itu akan datang? ***

Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior